Format Laporan Keuangan Standar Vs Non-Standar
Kadang saya menemukan publikasi online yang dengan percaya-diri menyebutkan “
Berikut ini adalah format satandar laporan keuangan”,
menurut saya itu pernyataan yang berlebihan—mungkin dibuat sebagai
bumbu daya tarik, ya tidak apa-apalah. Standar untuk si pembuat, mungkin
IYA. Standar untuk perusahaan ABC, mungkin juga IYES. Tetapi standar
untuk semua perusahaan?
Saya rasa tidak. Yang saya tahu, tak ada yang namanya “
format standar.” Seumur-umur belajar
akuntansi, membaca literature terbitan lokal hingga terbitan asing, saya belum pernah menemukan kata-kata yang menyebutkan “
ini adalah format standar laporan keuangan”.
Jika “
format yang lumrah”,
IYA, memang ada, misalnya: format yang lumrah untuk perusahaan jasa,
perusahaan dagang, perusahaan manufaktur, perusahaan konstruksi dan real
estate (yang biasa disebut dengan perusahaan kontraktor), pertambangan,
holti kultura, perbankan, non-profit, dan lain sebagainya. Namun tetap
saja TIDAK bisa disebut “FORMAT STANDAR”—yang harus diikuti bulat-bulat
oleh perusahaan lain, apalagi yang jenis usahanya jelas-jelas berbeda.
Oleh
sebab itu, contoh format apapun yang dikeluarkan oleh JAK, saya pribadi
memberikan jaminan PASTI BUKAN FORMAT STANDAR, termasuk format
laba-rugi yang akan saya tampilan lewat tulisan ini. Yang akan saya
sampaikan adalah format dasar. Agar bisa sungguh-sungguh digunakan perlu
modifikasi-modifikasi sesuai kebutuhan.
Dan yang lebih tahu menganai apa yang anda butuhkan adalah bukan saya, bukan konsultan, bukan guru besar akuntansi dari
Kellog Business School-nya
North Western University
sekalipun, bukan IAI, bukan FASB, bukan IASB, bukan pihak lain.
Melainkan perusahaan itu sendiri, lebih persisnya ANDA sendiri yang ada
di dalam perusahaan tersebut.
Ketimbang sekedar menjiplak format laporan keuangan yang telah ada,
menurut saya pribadi, jauh lebih masuk akal dan lebih penting untuk
mengetahui teknikal dan logika-logika dari format laporan keuangan itu
sendiri. Jika teknikal dan logika-logikanya sudah dipahami dengan baik,
maka saya yakin anda bisa membuat format laporan keuangan untuk jenis
perusahaan apapun.
Sudah pasti, untuk bisa menyajikan laporan
keuangan yang sungguh-sungguh mendekati kondisi keuangan perusahaan yang
sesungguhnya, seseorang harus paham (sedikit-banyaknya) alur-proses
operasional perusahaan yang akan dibuatkan laporan, paham karakter dan
behavior perusahaan tersebut.
Sebaliknya, jika sebuah laporan
menggunakan template hasil jiplak, lalu dipaksakan untuk digunakan untuk
perusahaan berbeda—sementara tidak paham teknikal dan logikanya, tak
paham operasional perusahaan—saya yakin tak seorangpun yang akan bisa
membaca dan memahami isi laporan yang dihasilkan.
Oke. Cukup. Sekedar untuk diketahui saja. Kita langsung ke topik utama…
Format Laporan Laba-Rugi (Income Statements)
Dalam “
Format Laporan Keuangan Bagian 1” ini saya akan menyajikan contoh format dasar
“Laporan Laba-Rugi,” beserta penjelasan-penjelasan yang diperlukan:
Penjelasan:
“
PT. JAK” – Ini adalah nama perusahaan yang dilaporkan
“
LAPORAN LABA-RUGI” – Ini adalah nama laporannya, yaitu Laporan-Laba Rugi
“
1 – 31 Januari 2012” – Ini adalah periode laporan. Periodisasi laporan keuangan lumrahnya ada 4, sehingga format inipun ada empat macam, yaitu:
(1) Bulanan (monthly), formatnya: seperti pada contoh di atas
(2) Kuartalan (quarterly), fromatnya: “Kuartal I (1 Januari – 31 Maret) 2012”
(3) Semesteran (semi-annually), formatnya: “Semester I (1 Januari – 30 Juni) 2012”
(4) Tahunan (Annually), formatnya: “1 Januari – 31 Desember 2012”
“
Pendapatan”
– Dalam kelompok ini lah segala macam pendapatan ditampung, yang
rinciannya bisa dibuat dibawahnya (dalam contoh ini dari a hingga d).
“
Penjualan”
– Ini adalah akun yang khusus menampung penjualan, baik itu penjualan
barang maupun jasa, sepanjang itu adalah barang/jasa utama yang dijual
oleh perusahaan. Bisa dibilang akun “penjualan” adalah sumber pendapatan
utama perusahaan.
“
Diskon/Potongan” –
Ini adalah diskon/potongan yang diberikan kepada pelanggan sehubungan
dengan penjualan barang/jasa utama yang dihasilkan oleh perusahaan.
Sehingga, akun “diskon” ini bersifat mengurangi penjualan bersih
perusahaan. Misal: Penjualan 3 unit monitor @800,000, dalam masa promosi
perusahaan mengadakan program “
Beli 2 Gratis 1.” Maka ke dalam
akun “penjualan” dimasukan 2,400,000 (=3 x 800,000), tetapi 1 barang
yang diberikan secara percuma 800,000 bisa dimasukkan ke akun “diskon.”
Sehingga penjualan bersih menjadi hanya 1,600,000 (=2,400,000 – 800,000)
saja.
“
Retur” – Ini akun untuk barang
retur/kembali, entah karena cacat atau karena pembelian memang
dibatalkan. Sifatnya sama seperti diskon, yaitu mengurangi penjualan
bersih.
Catatan:
Ada juga perusahaan yang laporan laba-rugi-nya tidak menampilkan diskon
maupun retur. Yang disajikan dalam laporan laba-rugi hanya nilai
penjualan bersih saja. Jika menggunakan contoh laba-rugi di atas, maka
yang tampil hanya “Penjualan = 2,150”, sedangkan akun diskon dan retur
tidak ditampilkan. Tetapi pada jurnal harian maupun buku besar (ledger),
tetap saja diskon dan retur di jurnal. Hanya saja, untuk diskon dan
retur dibuat kebalikan dari jurnal penjualan. Mengapa tetap dijurnal?
Karena ‘Harga PokokPenjualan’ dan pengurangan nilai ‘persediaan
barang’jadi’ dari barang terdiskon tetap harus diakui. Misalnya dalam
kasus penjualan monitor di atas, jurnalnya menjadi:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 2,400,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 2,400,000
(Untuk penjualan 3 monitor @800,000)
dan:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 1,200,000
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 1,200,000
(Untuk mengakui Harga Pokok Penjualan sekaligus mengurangi persediaan)
Lalu discount dicatat:
[Debit]. Penjualan = Rp 800,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 800,000
(Untuk diskon 1 monitor @800,000)
Sehingga, setelah semua transaksi terkumpul, maka buku besar ‘Penjualan” akan nampak sbb:
3 monitor @800,000 = 2,400,000 (Di sisi kredit)
1 monitor @800,000 = (800,000) (Di sisi debit)
Saldo = 1,600,000 (nilai netto penjualan setelah discount)
Demikian juga kalau ada retur, misalnya: 1 monitor dikembalikan, maka dicatat:
[Debit]. Penjualan = Rp 800,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 800,000
(Untuk diskon 1 monitor @800,000)
“
Pendapatan Lain-Lain”
– Akun ini untuk menampung pendapatan-pendapatan yang berasal dari
aktivitas yang BUKAN merupakan aktivitas utama perusahaan. Misalnya:
hasil menjual aktiva tetap yang sudah ditarik dari opersional
perusahaan, mengontrakan salah satu ruangan kantor untuk perusahaan
lain, dan lain sebagainya.
Kita lanjut ke akun berikutnya, yaitu “
Harga Pokok Penjualan.” Khusus mengenai Harga Pokok Penjualan—yang dalam bahasa inggrisnya disebut ‘
Cost of Goods Sold’, pembahasannya sedikit agak panjang dan rumit. Untuk itu saya jadikan sub-topik khusus di bawah ini.
Tetapi
jangan khawatir, sepanjang anda cukup sabar, telaten—terutama sekali
mau menelaah secara serius, saya yakin anda akan bisa mengikuti tanpa
hambatan. Saya akan berusaha untuk menjelaskan sejelas dan segamblang
mungkin. Mudah-mudahan waktu yang anda pergunakan untuk membaca di sini
tidak akan sia-sia. Lanjut….
Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold)
Yang nampak pada laporan laba-rugi, pada umumnya, hanya “
harga pokok penjualan”—ditampilkan
dalam satu baris saja. TETAPI, sesungguhnya, harga pokok penjualan
terdiri dari beberapa akun yang dikalkulasi secara terpisah. Sehingga,
laporan laba-rugi disertai dengan satu lampiran yang disebut dengan “
Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan” yang item-itemnya bervariasi antara satu jenis perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Sebagai
contoh, saya sajikan format “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”
untuk perusahaan MANUFAKTUR saja. Dengan penjelasan yang akan saya
berikan, mudah-mudahan anda bisa membuat rincian perhitungan harga pokok
penjualan untuk jenis usaha lainnya.
Berikut adalah contoh “
Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan” yang saya maksudkan:
Penjelasan:
Seperti terlihat dalam contoh di atas, “
Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”
terdiri dari 2 komponen utama, yaitu: (I) Harga Pokok Produksi
(Manufacturing Cost) ; dan (II) Persediaan Barang Jadi. Kita bahas
satu-per-satu:
I. Harga Pokok Produksi (‘Cost of Goods Manufactured‘ bisa juga disebut ‘Manufacturing Cost’) –
Komponen ini hanya ada pada laporan laba rugi perusahaan manufaktur.
Setiap cost dan biaya yang timbul akibat proses produksi (proses
mengolah ‘bahan baku’ dan ‘barang dalam proses’ menjadi ‘barang jadi’)
ditampung di dalam akun-akun komponen ini, itu sebabnya mengapa disebut
dengan “Harga Pokok Produksi.” Komponen harga pokok produksi dibagi lagi
menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
- Persediaan Bahan Baku – Nilai yang ditampilkan (1700 dalam contoh ini) adalah total bahan baku yang digunakan dalam periode pelaporan.
Dengan kata lain, total penggunaan bahan baku adalah total bahan baku
yang dioleh menjadi barang dalam proses (setengah jadi). Mengenai
perhitungannya bisa dilihat dalam contoh (saldo awal persediaan ditambah
pembelian lalu dikurangi saldo akhir).
- Persediaan Barang Dalam Proses (Work-in-Process yang sering disingkat dengan “WIP”)
– Nilai yang ditampilkan dalam WIP (4000 dalam contoh ini) adalah total
barang setengah jadi yang digunakan dalam periode pelaporan (1-31
januari 2012 dalam hal ini) beserta ‘Biaya Tenaga Kerja Langsung’ yang
dipergunakan dalam proses pengolahan. Perhitungannya bisa dilihat di
dalam contoh: ‘Persediaan awal’ ditambah ‘Mutasi dari bahan baku ke WIP’
ditambah ‘Biaya Tenaga Kerja Langsung’, lalu dikurangi Saldo akhir.
- Overhead – Setahu saya, overhead ini yang paling sering menimbulkan kebingungan: “pengeluaran atau biaya apa saja yang masuk ke dalam kelompok overhead?” Silahkan lihat di dalam contoh. Logika dasarnya:
Aktivitas mengolah ‘bahan baku’ menjadi ‘barang dalam proses’, lalu
mengolah ‘barang dalam proses’ menjadi ‘barang jadi’, tidak bisa
dihindari PASTI menimbulkan cost (beban). Nah beban inilah yang disebut
dengan “overhead”. Terdiri dari cost apa saja? Bisa berbeda antara suatu
perusahaan dengan perusahaan lainnya. Apa yang saya tampilkan di dalam
contoh di atas hanya dasar, pada prakteknya mungkin anda perlu tambahkan
atau kurangkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Yang jelas semua
biaya produksi selain bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung, masuk
kelompok overhead. Catatan: Dalam perusahaan jasa, cost yang timbul karena aktivitas untuk menghasilkan jasa yang dijual juga masuk kelompok overhead.
Sehingga secara kesuluruhan, “
Harga Pokok Produksi” (
cost of goods manufactured) adalah cost atau beban yang timbul akibat adanya aktivitas produksi, yang dalam contoh ini senilai 6700.
II. Persediaan Barang Jadi
– Dari penjelasan di atas, jika sungguh-sungguh mengikuti, saya yakin
anda sudah bisa menemukan jawaban mengapa komponen ‘Persediaan Barang
Jadi’ dipisahkan dari komponen ‘Harga Pokok Produksi’, yaitu: oleh
karena ‘persediaan barang jadi’ sudah tidak memerlukan proses produksi
(manufacturing) lagi. Disebut persediaan barang jadi, karena barangnya
sudah jadi dan siap untuk dijual. Nila yang ditampilkan dalam komponen
Persediaan barang jadi (7200 dalam contoh ini) adalah total nilai barang
jadi yang siap untuk dijual, sehingga disebut “
Total Barang Tersedia Untuk Dijual“.
Perhitungannya bisa dilihat dalam contoh: ‘Persediaan Awal’ ditambah
‘Mutasi Dari WIP ke Barang Jadi’ (setelah ditambahkan overhead).
Harga Pokok Penjualan baru bisa diketahui setelah barang terjual.
Berapa harga pokok barang yang terjual? Nilai
‘Total Barang Tersedia Untuk Dijual (7200)’ dikurangi ‘Saldo Akhir’
(50), yang hasilnya menunjukan angka 7150. Itulah total “
Harga Pokok Penjualan“.
Catatan: Yang sangat penting untuk dipahami disini adalah,
bagaimana ketiga kelompok (bahan baku, barang dalam proses dan
overhead) tersebut saling terkait antara yang satu dengan lainnya.
Misalnya: Bagimana bahan baku dimutasikan ke barang dalam proses (work
in process/WIP)? Bagimana WIP bersama-sama dengan Overhead dimutasikan
ke ‘Persediaan Barang Jadi? Dan seterusnya. Dalam contoh saya sudah
sertakan tanda panah berwarna biru yang menunjukan alur tersebut.
Memahami hal ini, bisa menjawab berbagai ganjalan pertanyaan yang
mungkin timbul di wilayah ini.
Sampai pada titik ini, pertanyaan yang sering muncul:
Bagaimana “Rincian Harga Pokok Penjualan” jika perusahaan saya bukan manufaktur? Bisa kasih contohnya tidak?
Jika
anda sudah memahami apa itu penggunaan bahan baku, apa itu penggunaan
barang dalam proses, apa itu overhead, dan mengapa timbul
overhead—sehingga secara keseluruhan anda memahami apa itu harga pokok
produksi, apa itu penggunaan persediaan barang jadi dan bagiamana harga
pokok penjualan terbentuk, saya yakin anda tidak memerlukan contoh lagi.
Sebagai panduan dasar, anda bisa menggunakan check list berikut ini:
- Apakah ada penjualan barang jadi?
JIKA TIDAK SAMASEKALI, berarti perusahaan anda murni perusahaan jasa,
sehingga dalam “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”-nya hanya ada
overhead—yang timbul dari aktivitas menghasilkan jasa yang diserahkan
(di jual). JIKA IYA, lanjut ke check list berikutnya
- Apakah barang jadi yang dijual adalah hasil pembelian dari perusahaan lain?
JIKA TIDAK, berarti perusahaan anda adalah perusahaan manufaktur,
sehingga “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan”-nya sama seperti
contoh yang saya tampilkan (hanya perlu disesuaikan dengan kebutuhan).
JIKA IYA, lanjut ke checklist berikutnya.
- Apakah barang jadi yang dibeli harus melalui proses tertentu lagi, sebelum dijual?
JIKA IYA, berarti perusahaan anda semi-manufaktur, sehingga “Rincian
Perhitungan Harga Pokok Penjualan”-nya tidak berisi kelompok “Bahan
Baku”, anda bisa menggunakan contoh di atas, tinggal hilangkan kelompok
‘Persediaan Bahan Baku’ dan beberapa penyesuaian di kelompok ‘Overhead’.
JIKA TIDAK SAMASEKALI, berarti perusahaan anda adalah murni perusahaan
dagang, sehingga “Rincian Perhitungan Harga Pokok Penjualannya” hanya
berisi kelompok ‘Persediaan Barang Jadi’ dan ‘Overhead’ saja.
Catatan: Mengenai penilaian persediaan (
inventory valuation) untuk menentukan harga pokok penjualan (apakah memakai metode
LIFO, FIFO, Weighted Average, Dollar Value, Lower Market Value, dll), akan saya bahas secara terpisah di kesempatan lain.
Biaya-Biaya
Tak
banyak yang perlu saya jelaskan di wilayah ini, masing-masing akun
biaya sudah self-explanatory. Yang jelas, dalam setiap perusahaan—apapun
jenis usahanya, pasti timbul biaya-biaya, hanya saja jenisnya mungkin
bervariasi.
Dalam akuntansi biaya (cost accounting) kelompok biaya-biaya ini sering disebut dengan istilah “
fixed cost.”
Bukan berarti nilainya tetap dari waktu-ke-waktu, disebut fixed karena
“Biaya-Biaya” ini adalah biaya rutin yang besar-kecilnya tidak
dipengaruhi oleh volume aktivitas produksi (dalam perusahaan
manufaktur), tidak dipengaruhi volume aktivitas jual-beli barang (dalam
perusahaan dagang), tidak dipengaruhi oleh volume aktivitas sehubungan
dengan proses pembentukan jasa yang diserahkan (dalam perusahaan jasa.)
“
Di tempat kerja saya, macam biayanya banyak, mengapa dalam contoh anda sangat sedikit?”; atau
“
Ditempat kerja saya, semua biaya penyusutan dijadikan satu, mengapa dalam contoh anda dipisah-pisah?”
Pada
kenyataannya, anda BISA membuat akun biaya SEBANYAK atau SESEDIKIT yang
anda inginkan (lebih tepatnya yang anda butuhkan)—bebas-bebas saja,
karena memang TIDAK ada aturan baku untuk hal itu.
Misalnya:
PT.
ABC mungkin memasukan pembelian tissue untuk kamar mandi kantor, kertas
untuk mesin photo copy, isi staples, clip papers, dan yang sejenisnya
ke dalam akun “Office Supplies” saja. Nah, jika anda mau akunnya lebih
banyak lagi, anda bisa membuat akun yang berbeda-beda untuk
masing-masing pengeluaran tersebut (misal: ‘Biaya Tissue Paper’, ‘Biaya
Kertas Photo Copy’, ‘Biaya Isi Staples’ dan seterusnya).
Sebaliknya,
anda juga bisa membuat akun biaya sesedikit mungkin. Misalnya: Akun
‘Biaya Stationary, Biaya Listrik dan Biaya Telepon menjadi satu akun
saja, mungkin disebut akun “Biaya Kantor”. Tak masalah. Sekalilagi,
TIDAK ADA aturan baku untuk hal itu.
Hal yang penting
untuk dipertimbangkan adalah untung-rugi-nya bagi perusahaan dan anda
sendiri sebagai orang yang menjalankan tugas tersebut sehari-hari:
- Di
satu sisi, semakin banyak akun biaya yang anda buat, makin detail
laporan yang akan anda hasilkan sehingga mendekati kondisi realnya, dan
pengendalian biaya menjadi semakin efektif—karena semua pengeluaran bisa
anda pantau sampai ke hal yang paling kecil. Demikian sebaliknya.
- Di
sisi lainnya, semakin banyak akun biaya yang anda buat, kemungkinannya
untuk menjadi tidak konsisten semakin tinggi—anda akan sering menemukan
biaya-biaya yang sulit untuk dikelompokan ke dalam akun-aku yang
spesifik. Disamping itu, dalam proses tutup buku, akan semakin banyak
pula akun yang harus anda periksa (review), rekonsiliasi, lalu anda
tutup satu-persatu.
Saya menyebut fenomena ini dengan “
account paradox”.
Di sini anda harus mempertimbangkan matang-matang sejauh mana
kemanfaatan yang timbul antara pilihan ‘menjadi detail’ atau ‘general.’
Setiap pilihan yang anda ambil sudah pasti ada risikonya. Tinggal
pintar-pintar menentukan titik trade-off yang paling optimum bagi
perusahaan dan anda.
Secara keseluruhan, Format Laporan Laba-Rugi terdiri dari:
- Pendapatan – Harga Pokok Penjualan = Laba Kotor
- Laba Kotor – Biaya-biaya = Laba/Rugi Bersih Sebelum Pajak
Sumber: Mr. JAK. http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/01/format-laporan-keuangan-1-laporan-laba-rugi/